Rabu, 02 November 2016

Ijtihad Sebagai Metodologi Hukum Islam

Waktu Umat Islam Berijtihad
        Seorang yang melakukan ijtihad tergantung pada niatnya sendiri karena  pengertian ijtihad sendiri luas. Contoh :  seseorang belajar  bersungguh-sungguh, proses belajar bersungguh-sungguh itu termasuk ijtihad dengan di sertai oleh niat seseorang yang melakukan itu. 
Ijtihad sendiri telah dilakukan sejak masa Nabi. Beberapa kali, Nabi melaku¬kan ijtihad. Namun, Nabi selalu mendapat bimbingan Allah. Bila hasil ijtihadnya salah, Allah segera meluruskannya. Bila hasil ijtihadnya benar, Allah menegaskannya kembali. Setelah Nabi wafat, ijtihad terus dikem¬bangkan oleh para sahabat dan kemudian tabi’in. Demikian seterusnya, ijtihad terus-menerus dikembangkan. Jika pada masa lalu ijtihad telah dilakukan, kebutuhan kita sekarang untuk berijtihad tentu saja semakin besar.
B. Pengertian Ijtihad
          Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’ dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada Alquran dan sunah.
Orang-orang yang mampu berijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat di pertanggungjawabkan, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain : bersifat adil dan takwa, menguasai bahasa Arab  dan  cabang-cabangnya, ilmu tafsir, ushul fiqih, dan ulumul hadits. Ilmu-ilmu tersebut diperlukan untuk meneliti dan memahami makna-makna lafal dan maksud-maksud ungkapan dalam Alquran dan sunah. [1]

Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya berusaha bersungguh-sungguh  atau  mengerahkan segala kemampuan. Ijtihad secara istilah di definisikan para Ushul Fikih sebagai usaha mutjahid  (orang yang beritjihad) dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum sesuai masalah dengan menggunakan metodologi yang benar, dari kedua sumber hukum Al-Qur’an dan Assunnah. Ijtihad bukanlah dilakukan oleh sembarang orang. Orang yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad disebut mutjahid. Para mutjahid harus melakukan ijtihadnya dengan penuh kesungguhan dan dalam bidang yang sangat dikuasainya disertai metodologi yang benar. Sumber hukumnya yang pertama adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berjumlah lebih dari enam ribu ayat, baik sebagai kesatuan yang utuh-bulat, satu kesatuan surat persurat maupun secara parsial ayat perayat, selanjutnya yang ke dua adalah hadist-hadist Nabi yang juga berjumlah ribuan dan melalui seleksi yang ketat tentang ke shahisannya, dan yang ketiga adalah ijma para sahabat Nabi, para Imammutjahid mutlak (yaitu Imam Jafar, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali)  merumuskannya dengan  langkah-langkah  gambling,  tetapi ketat. Metode yang dimaksud terutama qiyas (Empat Mazhab), istihsan (Imam Hanafi), mashalih mursalah (Imam Maliki), danistidlal (Imam Syafi’i). Dalam Islam Syi’ah, ijtihad  tidak menggunakan metode-metode semacam qiyas dan mashalih mursalah tersebut. Ijtihad  adalah  penyimpulan hukum dari Al-Qu’an dan Sunah melalui prinsip-prinsip umum syara’atau penyimpulan suatu hukum pada kasus baru dengan bersandar pada prinsip-prinsip umum yang sudah jelas dan terang benderang dalam Al-Qur’an dan  Assunnah yang dijadikan sandaran dalam berijtihad adalah hadist tentang  Muadz bin Jabal tatkala di utus oleh Nabi saw. Untuk menjadi hakim di negeri Yaman. Rasulullah saw. Bertanya “Bagaimana  engkau  akan  memutus  perkara  apabila dihadapkan kepadamu  suatu pengaduan?”. Ia menjawab “Saya akan memutus dengan hukum yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Beliau bertanya “Apabila tidak di dalam Al-Qur’an?”. Ia menjawab “Dengan Assunnah Rasulullah saw”. Beliau bertanya lagi “Apabila tidak ada di dalam Assunnah Rasulullah?”. Ia menjawab “Saya akan berusaha keras menggunakan fikiranku dan tidak berhenti berusaha”.

0 komentar:

Posting Komentar